Seuntai Rajutan untuk Mama
Karya: Najwa Nisrina
‘Alhamdulillah, udah lumayan banyak yang kekumpul,’ gumam Dinda bahagia saat mengetahui uang tabungannya sudah kekumpul lumayan banyak.
‘Kira-kira dibeliin apa ya, yang cocok buat Mama?’ Dinda mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu tanda tengah berpikir keras.
Karena kurang beberapa hari lagi hari yang diperingati setiap tanggal 22 Desember akan tiba. Jadilah ia mempersiapkan uang tabungannya untuk membelikan hadiah untuk Mamanya.
‘Apa kubuatkan syal aja, ya?’
‘Ide bagus tuh, nanti di syalnya dikasih ukiran nama Mama biar tambah cantik,’ gumamnya bahagia saat sudah menemukan hadiah yang cocok untuk ia berikan kepada Mamanya di Hari Ibu nanti.
Dinda terhenyak kaget karena tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kasar oleh Mamanya.
“Astaghfirullah,” ujar Dinda sambil memegangi jantungnya yang terasa berdetak kencang.
“Mama tumben ke kamar aku, kenapa Ma?” tanya Dinda heran.
Bukannya menjawab pertanyaan Dinda, Bu Rani malah marah-marah dan ngomong kasar sama Dinda.
“Kamu apain anak saya, hah!”
“Sampai anak saya nangis-nangis di kamarnya!”
“Denger ya, kamu itu hanya anak dari j*l*ng murahan yang nggak tahu diri yang ngerebut suami saya!”
“Bunda aku enggak j*l*ng, Bunda orang baik!” teriak Dinda karena tak terima mendiang Bundanya dikatain j*l*ng oleh Mamanya. Air matanya mengalir jatuh hatinya sakit Bundanya dikatain j*l*ng murahan perebut suami orang.
Ia yakin Bundanya itu orang baik. Ya walaupun, sedari kecil ia dirawat oleh Mamanya karena Bundanya meninggal dunia saat ia berumur 3 tahun. Tapi ia yakin, Bundanya itu orang baik.
“Oh, udah mulai berani ngelawan ya sekarang.”
Bu Rani melangkah maju dan tanpa aba-aba ia menarik rambut Dinda ke belakang dengan kuat.
“S-sakit, Ma,” rintih Dinda. Bukannya melepaskan jambakannya Bu Rani malah semakin memperkuat jambakannya pada rambut Dinda.
“Kamu itu anak dari j*l*ng murahan yang udah merebut kebahagiaan saya dan suami saya. Gara-gara Ibu kamu itu, saya jadi dimadu sama suami saya. Ibu kamu itu perebut semua kebahagiaan saya. Jadi, anak dari perempuan perebut suami orang seperti kamu itu enggak pantas buat bahagia!”
“Danang itu hanya milik putri saya, putri kesayangan saya, anak sah dari saya dan suami saya, bukan seperti kamu anak haram!”
“Jangan coba-coba deketin Danang, camkan itu!” Setelah mengatakan itu Bu Rani melepaskan jambakan dengan kasar lalu pergi meninggalkan Dinda yang terisak menahan sakit karena rambutnya habis dijambak kuat.
Mamanya itu selalu saja begitu, selalu membangga-banggakan anak kandungnya. Ya, memang ia bukan anak kandung Mamanya, ia anak kandung dari Papa dan Bundanya.
Mamanya itu selalu menyuruh dirinya untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa bukan anak SMA seperti dirinya. Tak jarang, Mamanya itu akan melakukan kekerasaan saat merasa pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya itu kurang memuaskan. Berbanding terbalik dengan Dafiya-anak kandungnya.
Dafiya selalu dimanja oleh Mamanya, Dafiya tidak pernah disuruh mengerjakan pekerjaan rumah seperti dirinya.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah Dinda mampir sebentar ke Toko Benang untuk membeli bahan-bahan untuk merajut.
Karena pagi tadi ia berangkat sekolah diantar oleh Papanya, jadilah ia sekarang pulang dengan nebeng sama Danang. Awalnya ia sudah menolak untuk pulang bersama Danang, namun si Danang keukeuh menyuruh dirinya agar pulang bersamanya.
“Nang, nanti berhenti sebentar ya, di Toko Benang,” pinta Dinda saat motor yang dikendarai Danang mulai melaju meninggalkan area sekolahan.
“Ngapain ke Toko Benang?” tanya Danang heran.
“Mau beli bahan-bahan buat ngerajut.”
“Oh.”
Beberapa menit kemudian Dinda telah sampai di komplek rumahnya, ia meminta kepada Danang untuk diturunkan sedikit jauh dari rumahnya agar Mamanya tak melihat dirinya yang pulang bersama Danang. Dinda pun masuk dengan membawa sebuah paper bag berisi bahan-bahan buat merajut.
Malam harinya ia pun mulai membuat syal rajut buat Mamanya. Beberapa jam kemudian syal rajut dengan ukiran nama Mamanya telah selesai ia buat. Syal itu berwarna baby blue, warna favorit Mamanya. Ia simpan syal cantik itu ke dalam kotak berwarna hitam dengan pita putih di pinggirnya.
Hari ini Dinda kembali diantar oleh Papanya. Namun, bedanya hari ini ia tidak akan nebeng dengan Danang lagi.
Ia pulang dengan menggunakan ojek online dan saat ini ia tengah menunggu ojek online pesanannya datang.
Sementara di tempat lain terdapat pasangan berbeda gender dan berbeda usia tengah bermesraan di taman.
“Om, makasih ya, udah belanjain aku sebanyak ini,” ujar Dafiya sambil menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki yang ia panggil Om itu.
“Makasih juga udah hibur aku hari ini.”
“Iya, apa sih yang enggak buat sayangku. Makanya kamu tidak usah lagi tuh ngejar-ngejar yang namanya Danang danang itu, kan sudah ada Om yang bisa menuhin semua kebutuhan kamu,” jawab si Om itu sambil mengusap-usap punggung tangan Dafiya.
Dafiya hanya diam saja tanpa berniat menyahuti ucapan si Omnya itu.
Terlihat dari arah sana Bu Rani melangkah mendekati Dafiya yang tengah bermanjaan dengan muka merah padam.
“Dafiya! Kamu apa-apaan sih gelendotan sama laki-laki tua bangka ini!” Bu Rani menarik kasar tangan Dafiya hingga pinggul Dafiya tak sengaja terkena pinggiran kursi.
“Apaan sih, Ma. Dateng-dateng main tarik aja tangan aku, sakit tahu enggak,” ujar Dafiya sambil menyentak kasar tangan Bu Rani yang menggenggam tangannya.
“Ya lagian kamu, pulang sekolah bukannya langsung pulang, malah gelendotan sama laki-laki yang harusnya kamu panggil Papa di taman.”
“Oh, atau kamu hari ini bolos sekolah, iya!”
“Iya memang, aku bolos sekolah. Kenapa? Mama mau marah, udah deh, Mah. Stop gangguin urusan aku!”
Sementara Dinda yang sedang di perjalanan pulang ia melihat Mamanya yang tengah beradu mulut itu dengan Dafiya pun memberhentikan ojeknya.
“Pak, stop pak. Saya berhenti di sini aja,” ujar Dinda sambil menepuk-nepuk pundak tukang ojeknya.
Dinda turun dari motor lalu menyerahkan uang ongkos ke tukang ojeknya.
“Kamu ya, ayo ikut pulang sama Mama!” ujar Bu Rani sambil berusaha menyeret tangan Dafiya.
“Ayo Dafiya, pulang sama Mama, sekarang!”
“Apa sih Ma, Fiya masih mau di sini.”
“Pulang sama Mama, Dafiya!”
“Enggak Ma, Fiya enggak mau pulang!”
“Udah sana, Mama pulang aja. Gausah campurin urusan aku lagi!” ujar Dafiya sambil mendorong Mamanya agar pergi dari taman itu. Namun, Bu Rani malah terdorong hingga ke tengah jalan raya yang banyak lalu lalang pengendara motor maupun mobil.
Dari arah sana terlihat sebuah truk tengah melaju kencang menuju tempat Bu Rani berada.
Dengan sekuat tenaga Dinda berlari menuju ke arah Bu Rani.
“Mama, awas!”
Brakkk!
Truk itu pun menghantam tubuh Dinda hingga Dinda terpental beberapa meter dari tempatnya. Darah banyak keluar dari tubuh Dinda, terutama bagian kepala.
Sementara Bu Rani mematung melihat Dinda yang tergeletak di sana dengan genangan darah di sekitarnya. Anak yang selama ini ia telantarkan, rela mengorbankan nyawanya demi menolong dirinya dari maut.
Tak lama kemudian ambulance dan para medis datang. Dinda pun dibawa ke rumah sakit terdekat untuk segera mendapat pertolongan, Bu Rina juga ikut ke rumah sakit. Dengan segera dokter menangani Dinda setelah sampai di rumah sakit.
Beberapa menit kemudian dokter keluar dan memberitahukan bahwa pasien ingin bertemu dengan Bu Rani.
“Ma, ma-maafin Dinda ya,” ujar Dinda dengan terbata-bata.
“Dinda banyak s-salah sama, Ma-ma,” napas Dinda tercekat, namun sekuat tenaga ia berusaha untuk bicara sama Mamanya.
“Sebelum Dinda pergi, Din-da punya hadiah untuk Mama. Di lemari Dinda ada kotak warna hitam, itu hadiah untuk Mama.”
“Dinda p-pamit, Ma. Dinda udah gak kuat, assalamu’alaikum.” Sebelum menghembuskan napas terakhirnya Dinda sempat mengucap syahadat.
Setelah prosesi pemakaman Dinda selesai, Bu Rani teringat dengan pesan terakhir sebelum Dinda menghembuskan napas terakhirnya.
Dengan segera Bu Rani melangkah menuju kamar Dinda dan mencari kotak itu.
Dan benar saja, kotak itu memang ada di dalam lemari Dinda. Segera Bu Rani membuka kotak itu yang ternyata berisi sebuah syal rajut berwarna baby blue dengan ukiran namanya.
Ia mengambil syal itu dan dirabanya pelan sambil ia telusuri bagian ukiran namanya.
Tak hanya syal ternyata, di dalam kotak itu juga terdapat sebuah surat tulisan tangan Dinda.
Isi Surat
Selamat Hari Ibu untuk Mamaku tersayang.
Dinda sayaaang banget sama, Mama.
Walaupun Mama bukan Ibu kandung aku, tapi Mama udah kuanggap seperti Ibu kandung aku sendiri.
Mama udah berjasa ngerawat aku dari aku kecil sampai besar.
Maafin aku ya, ma, kalau aku sering buat Mama marah, maafin aku kalau aku sering buat kesalahan sama Mama.
Semoga Mama suka ya, sama Syal rajut buatanku.
Sekali lagi Selamat Hari Ibu, Mama.
Tertanda
Dinda.
Tak terasa Bu Rani meneteskan air matanya saat membaca surat dari Dinda.
‘Maafin Mama, Nak. Selama ini udah jahat sama kamu, Mama udah telantarin kamu,’ gumam Bu Rani menyesal telah menyia-nyiakan anak sebaik Dinda.
“Mama menyesal, nak.”
Bu Rani tak menyangka, anak yang selama ini ia anggap sebagai anak dari wanita murahan yang udah merebut suaminya dan kebahagiaannya ternyata adalah anak yang berhati mulia.
Selama ini ia telah bersikap zalim terhadap Dinda. Namun, Dinda membalas perbuatannya dengan kebaikan dan kebaikan yang mampu membuatnya sadar bahwa selama ini sudah jahat. Bahkan, Dinda rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan nyawanya dari maut.
“Maafin Mama, Dinda!”
Kini Bu Rani hanya bisa berandai-andai. Andai, Dinda masih hidup pasti Dinda bahagia melihat dirinya mau berubah. Andai, Dinda masih ada ia akan minta maaf kepadanya dan kalau perlu ia akan bersujud di kaki Dinda agar Dinda mau memaafkan kejahatan-kejahatan yang telah ia perbuat.
Demak, 18 Desember 2023
0 Komentar